Home » , » Antara Lady Gaga, Komunisme dan Blue Diamonds

Antara Lady Gaga, Komunisme dan Blue Diamonds



Saat itu Orde Lama baru saja tumbang, Orde Baru berkuasa dibarengi dengan perubahan angin politik. Bung Karno yang anti musik ngak ngik ngok, julukannya buat musik Barat, diganti dengan era yang pro Barat. Hal ini berlaku juga untuk urusan musik.

Di Republik yang baru berganti rute ideologi ini, band Blue Diamonds diundang konser. Band yang dijuluki The Everly Brothers dari Belanda itu tercatat menjadi menjadi artis asing pertama yang konser di Indonesia, sebagai negera merdeka. 

Bahkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang memuluskan kehadiran mereka di Tanah Air, bekerjasama dengan Hotel Indonesia. Tentara saat itu menggunakan musik, dalam hal ini musik Barat, sebagai alat untuk meng-counter paham komunis. Sejarah membuktikan rezim berkuasa berpengaruh terhadap cara masyarakatnya berkesenian.

Blue Diamonds yang saat itu sudah top di Eropa dan punya hits singel Ramona pun tur ke beberapa kota di Indonesia. Personel band ini, Ruud de Wolff dan Riem de Wolff adalah para sinyo Belanda kelahiran Depok dan Cimahi yang hijrah ke Belanda tak lama setelah Indonesia merdeka. 

Tak lama kemudian terjadi boom minyak, banyak anak muda Indonesia kuliah di Amerika Serikat. Beberapa diantaranya menjadi pembuka jalan datangnya para artis asal AS ke Indonesia. Band sekelas Deep Purple tampil di Jakarta pada akhir 1975 dan berhasil menghadirkan 30 ribu penonton. Angka yang fantastis saat itu.
Era 80-an
Memasuki era 1980-an dan 90-an, promotor konser musik di Indonesia sudah mulai bisa meyakinkan sponsor. Promotor pun bisa meraup untung beberapa kali lipat dalam sebuah konser. Walaupun dalam bisnis tentu kadangkala mereka juga merasakan pahitnya merugi. 

Meski tak seramai Singapura dalam urusan jadwal konser artis asing, Indonesia bisa dibilang negara mayoritas muslim yang banyak didatangi artis, dengan berbagai gaya. Masih ingat konser Beyonce di Jakarta pada November 2007? 

Indonesia kebagian jadwal konser Beyonce karena eks personel Destiny's Child itu batal manggung di Kuala Lumpur. Konon Beyonce gagal manggung di KL karena ia tak mau mengkompromikan gaya busananya. Konon sebagian masyarakat di sanapun habis-habisan memprotes Beyonce.

Di Jakarta, ia beraksi dengan set kostum yang sama yang ia gunakan untuk konser di negara-negara lain, beberapa diantaranya amat minim. Tak banyak hingar bingar protes saat itu, bahkan bisa dibilang tidak ada. Mereka yang tak setuju mungkin sekedar nggerundel dan gerutuan sporadis mereka cuma jadi obrolan warung kopi. 

Sekarang, lima tahun berselang, kondisi sudah berbeda. Masyarakat punya banyak saluran untuk bersuara, seringkali dengan lantang, lewat media alternatif. Polemik yang tadinya cuma obrolan antar tetangga, beralih ke Twitter, Facebook dan sebagainya. Mereka yang setuju maupun tidak, masing-masing ramai beruara. Kehebohan dengan mudah diciptakan.

Yang tadinya tak mengenal Lady Gaga, akhirnya tahu. Yang tadinya tak mengenal lagu dan liriknya karena penasaran jadi begitu heboh akhirnya membrowsing. Melihat kehebohan di media non mainstream, media mainstream pun tak mau ketinggalan. Buat yang tidak ikut keriuhan di dunia maya pun akhirnya ikutan riuh di jalan, menyuarakan pendapatnya.       

Kini Gaga gaga(l) konser di Jakarta. Promotor mengungkapkan keamanan si artis dan penontonnya membuat manajemen Lady Gaga memilih membatalkan konser. Sementara pihak kepolisian merasa memang ada perizinan yang belum lengkap dari promotor. Pikiran saya yang iseng pun melantur. Mungkin beda ceritanya kalau Lady Gaga hadir ke Indonesia atas undangan aparat, seperti Blue Diamonds dulu.

Latest News

>> <<

Page

    Photos on Flickr

    You are here : Home »